Dukung SayaDukung Pakde Noto di Trakteer

[Latest News][6]

abu nawas
abunawas
berbayar
Budaya
cerbung
cerkak
cerpen
digenjot
gay
hombreng
horor
hot
humor
informasi
LGBT
mesum
misteri
Novel
panas
puasa
Terlarang
thriller

Labels

ABDI NDORO SOEMITRO BAGIAN 2

 

Ndoro Soemitro masuk lalu menghampiri Karmini yang berdiri dan tak tahu harus menjura atau menunduk.

“Karmini, raupanmu ayu.” Ndoro Soemitro tiba-tiba membelai pipi Karmini.

“Ndoro ...,” gumam Karmini, terhanyut perlakuan ndoronya.

Karmini menggigit bibir, mencoba menenangkan diri. “Opo iki bener… utawo impen?” bisiknya sendiri.

“Jare awakmu rondo?”

Karmini mengangguk pelan, dadanya masih berdebar-debar, darah di tubuhnya berdesir hebat.

“Wes tahu ngrasakno berarti?”

Tangan Ndoro Seomarto mengangkat dagu Karmini lalu ....

Cup!

Tubuh Karmini seketika lemas, tak bertulang, terlebih tangan Ndoro Seomarto bergerak liar dan  ...

 

****

 

ABDI NDORO SOEMITRO: Episode 2







Pagi itu, sinar matahari menembus jendela kayu, membentuk garis-garis panjang di lantai tegel pawon.

Karmini sudah bangun sebelum subuh tadi, Lur. Rambutnya diikat longgar, kebaya biru sederhana dan jarit menempel rapi di tubuhnya. Tangannya masih gemetar setelah kejadian sore kemarin bersama Ndoro Soemitro yang ‘ngamuk’ kayak orang yang tak pernah dijatah oleh Ndoro Nyai. Walah! Malah wes diembat sek kambek ndorone, Lur.

 

Karmini mulai menyiapkan sarapan, hati berdebar, dada panas, tak menentu mengenang adegan panas di pawon bersama Ndoro Soemitro.

Tanpa Karmini tahu, Mbah Sukir bersama Yadi bersembunyi di pojok pawon, menyipitkan mata. Ia menatap Karmini yang terlihat sibuk. Mbah Sukir lalu tersenyum tipis.

“Di, ojo lali. Saiki tugasmu penting. Bla, bla, bla, %#@!*&#(Y%), nanging ojo konangan, yo!” ucap Mbah Sukir pelan sambil memberi isyarat pada sopir Ndoro Soemitro itu.

Yadi menelan ludah, “Inggih, Mbah. Kulo bakal nurut.”

Mbah Sukir menepuk pundak Yadi, lalu berbisik di telinga sopir Ndoro Soemitro itu. “Ati-ati, Di.  Pokoke &%$#@*& titttttt (sensor). Dong po ra?”

“Inggih, Mbah,” jawab Yadi.

Entah apa rencana mereka berdua, Lur. Pakde mencium aroma persekongkolan antara Mbah Sukir dengan Yadi. 😁 Mudah-mudahan Karmini segera tahu rencana Mbah Sukir itu.

Apakah ini ada kaitannya dengan botol yang diberikan Mbah Sukir kepada Yadi waktu itu? Entah, Lur. Pakde masih belum mau blak-blakan, biar menjadi plot twist di ujung cerita saja. (Tersenyum misterius) 😁

Daripada berspekulasi, mending kita lanjut ceritanya, Lur.

“Wis kono metuo,” pinta Mbah Sukir kepada Yadi.

“Sakniki, Mbah?”

“Ora! Ngenteni bodo kethek! Yo, iyo to, Ngoh. Mumpung pawon sepi. Wes gek ndang!” balas Mbah Sukir.

Makin mencurigakan gak sih?

Apa? Kamu baru nemu cerita ini? Artinya kamu ketinggalan! Baca episode sebelumnya biar gak bingung. Noh ada di postingan. Obok-obok gih.

Sudah paling benar kalau kamu itu follow akun pakde ini, dijamin bakal banyak cerita seru yang menghibur di senggang waktumu, banyak cerita yang pakde suguhkan dengan gaya storytelling, cara bercerita yang tak lumrah, nyeleneh, dan berbeda. Agak laen memang pakdemu ini. He he he. (Kayang).

Kamu belum terbiasa dengan gaya cerita beginian? Ya, hanya pakde yang berani tampil beda dalam mengemas cerita. Tujuannya agar kamu tak bosan membaca, mengingat orang yang mau membaca sudah sedikit di era gempuran konten video, semua orang sudah menyematkan label konten kreator di akun FB mereka dan memproduksi video apa saja, Lur. Bendera pakde harus terus berkibar, meski konten tulisan begini jarang diminati. Tak apa, Lur. Tujuan pakde menulis tetap berdasar untuk menghibur diri sendiri ... selebihnya hanya ingin berbagi.

“Cerita yang lain dong, Pakde.”

Nanti pakde menulis cerita yang sarat akan sejarah ... kamu bosan. Menulis cerita romansa menyek-menyek ... kamu bilang alay. Nanti pakde posting cerita horor ... gak suka horor, Pakde.

Jadi, daripada mumet mengikuti kemauanmu, mending pakde menulis untuk ... ya, menghibur diri sendiri saja. Tidak ada ekspektasi lebih. Hanya pakde percaya kalau tiap cerita akan menemukan jodohnya, meski hanya segelintir (pembaca).

Menulis cerita seperti penulis-penulis lain sudah banyak pakde lakukan. Noh lihat deretan cerita pakde yang banyak diapresiasi dengan mendapat penghargaan menulis. Sudah banyak, Lur. Banyak! Cek akun Wattpad milik pakde.

“Kan jadi lompat-lompat ngikutin ceritanya kalau gaya storytelling, Pakde.”

Pakde jawab, “Ya. Namun, kamu akan terbiasa dengan gaya bercerita ala pakde. Seperti yang sudah pakde katakan di awal. Di FB pakde mencoba keluar dari arus menulis cerita. Coba cari penulis yang bercerita dengan suguhan storyteller begini. Emang ada?

Auk, ah! Intinya pakde hanya tak mau ikut arus. Di FB bebas to? Beda dengan kontes menulis yang mewajibkan menggunakan point of view (POV).

Pakde mohon maaf bila kamu kurang berkenan saat pakde menulis cerita dengan gaya storytelling begini. Maaf nggeh. Tetap bersama pakde ya, Lur. (Berkata dengan nada harap).

Sampai mana tadi ... sampai lupa to pakde. Wes ayo next, Lur!

 



****

 

Kembali kepada Karmini.

Karmini masih terlihat membersihkan pawon saat semua abdi pamit pulang.

“Nduk, aku balek sik, yo.”

“Nggeh, Mbok,” jawab Karmini disertai senyum.

Singkat cerita, saat semua abdi pulang, hanya Karmini yang masih bekerja, membereskan pawon.

Sesaat Karmini menghentikan kegiatannya tatkala ia mendengar bunyi selop di halaman belakang.

“Ndoro!”

Buru-buru ia mengintai dari balik jendela, melihat Ndoro Soemitro sedang berjalan menuju pintu pawon.

“Ndoro ...,” gumam Karmini, dadanya berdebar kencang. Ia menarik wajah dari jendela, tubuhnya bersandar ke dinding, tangan gemetar. Ia tahu Ndoro Soemitro akan menemuinya seperti janjinya kemarin.

Tanpa Karmini tahu, di pojok pawon ada Mbah Sukir yang terus memperhatikannya dengan cara sembunyi di balik deretan soblok tembaga. Mbah Sukir menahan tawa tipis. “Cocok karo regone ndog! Pancen iki sing tak karepke. He he he.”

Oh, iya. Kamu tahu apa itu soblok? Pakde menyebutnya begitu, Lur. Soblok itu sejenis dandang atau alat untuk mengukus nasi pada jaman pakde kecil. Bentuknya kayak guci besar, umumnya mirip vas bunga, tetapi ukurannya besar dan terbuat dari tembaga. Pengukusnya terbuat dari anyaman bambu. Begitu, Lur. Coba tanya embahmu apa itu soblok. Eh, Mbah Google juga tahu ding.

Kembali pada Karmini yang hatinya terus berdebar-debar dan Mbah Sukir yang masih bersembunyi, Lur.

 

Karmini melangkah lalu duduk di tepi balen, kepalanya menunduk, menggigit bibir. Dadanya berdebar hebat, membayangkan apa yang akan Ndoro Soemitro lakukan padanya ... sesuai janji kemarin.

Benar saja ... Ndoro Soemitro datang dan menghampiri Karmini.

Karmini mendongak saat Ndoro Soemitro meraih tangannya.

“Ndoro?”

Dilihatnya kumis tebal itu mengembang, penuh nafsu, dan Karmini tahu ke mana arah yang dimaksud.

Ndoro Soemitro mengangguk, tanpa bersuara sedikit pun.

Karmini bagai terperdaya, ia mengiyakan saja ajakan Ndoro Soemitro terlebih bibir yang dihias kumis tebal itu ....

Cup!

“Oh, Ndoro.”

(Babagan kenthu antawes Ndoro Soemitro lan Karmini meniko pakde sensor nggeh, Lur. Pakde mboten wantun nulis ingkang detail, ajrih rame kados cerios kang nate pakde tulis niko. Ngapunten lo, nggeh 🙏).

Pokoknya begitulah, Lur. Lagi-lagi Karmini tak kuasa menolak ajakan ndoronya dan itu terjadi di pawon, di mana ada sepasang mata yang melihatnya, mata Mbah Sukir. Yaelah, Mbah!

Menang banyak Mbah Sukir bisa menyaksikan secara Live adegan panas Ndoro Soemitro dengan abdinya, sepanas bara yang masih menyala di tungku pawon.

Kalau pakde jadi Mbah Sukir sudah pakde rekam ... untuk bukti. Ini sudah tidak benar to, Lur? Pokoknya pakde rekam lalu pakde serahkan kepada Ndoro Nyai, tetapi tentu saja pakde minta syarat. 😁

Eh, lagian kenapa juga mainnya di pawon. ‘Kan bisa di kamar atau cari tempat yang sepi? Ah, ndoro payah! Ke Losmen lah, Ndoro. Sangit kalau di pawon, Ndoro. 😁

Next!

 


****

 

Setelah Ndoro Soemitro pergi meninggalkan pawon.

Yadi melangkah menuju mobil sedan milik Ndoro Soemitro, matanya sesekali menatap Karmini.

“Kok aku ngeroso aneh, yo? Kok Karmini manut ae,” ucap Yadi pelan pada diri sendiri sambil membetulkan ikat celananya.

Loh! Memangnya Yadi tahu? Eng ing eng ... makin misterius saja para abdi Ndoro Soemitro ini ya, Lur.😁

Mbah Sukir tiba-tiba datang dengan tersenyum. “Tenang Di. Tenang. &%^$##@!?”*#^, Titttt.” Seolah-olah tahu isi kepala Yadi.

“Nanging, Mbah. Nopo mangke mboten ndadosaken masalah?” tanya Yadi dengan mimik serius.

“Ora, Di. Ora! Wes to percoyo karo aku,” jawab Mbah Sukir tak kalah serius.

Yadi lalu menarik tangan Mbah Sukir menuju sisi mobil yang tak terlihat.

“Alon to, Di. Alon!” ucap Mbah Sukir saat ia kerepotan mengimbangi langkah Yadi.

“Mangke nek Karmini ngertos dos pundi, bagaimana kalau Karmini tahu yang sesungguhnya, ha!” Yadi berucap seperti orang ketakutan.

“Sst! Ojo seru-seru to lah!” balas Mbah Sukir.

“Nek nganti meteng pripun, Mbah?”

“Yo, tanggung jawabmu to, Di.”

“Hah! Kok kulo?” Yadi protes.

“Lha mosok aku!” balas Mbah Sukir menunjuk hidungnya sendiri. “Manukku lo wes gak iso manggung neh.”

Loh! Mereka membicarakan apa to? Hamil? Tanggung jawab? Yadi? Wah! Makin membingungkan dan penuh teka-teki, Lur.

“Pun, Mbah! Kulo mboten purun maleh!” pinta Yadi.

“E, e, e. Kudu mbok terusno, yo!” tolak Mbah Sukir

Akan tetapi, Yadi menggeleng. “Kulo ajrih, Mbah. Ajrih!”

“Aman, aman, Di. Aman,” ucap Mbah Sukir memastikan.

“Niki sampun kaping pindo, Mbah.”

“Penak to. He he he.” Mbah Sukir terkekeh sambil mencolek burung Yadi.

Eh, Wedos! Mainnya kok nyolek burung to, Mbah! Bahaya Sampean ki, Mbah. 😁

“Mbah! Mangke nopo mboten bahaya. Menawi ndoro ngertos kepripun, ha?” tanya Yadi untuk sekian kali dengan wajah cemas.

Mbah Sukir menepuk-nepuk bahu Yadi. “Manuto marang aku. Pokoke aman tur kepenak, Di. Kepenak! Kowe yo demen to karo Karmini?”

Yadi menunduk kali ini, ucapan Mbah Sukir tak mungkin ia tampik.

“Nek kowe gak nuruti opo omonganku. Bakal tak laporne karo bojomu. Piye?” Penuh nada ancaman dari Mbah Sukir.

“Ampun dos ngoten, Mbah! Seng kerso rumiyen Sampean to?” balas Yadi mengelak.

“Jane ... jane Sampean gadah rencono menopo, Mbah?”

Yang ditanya malah tersenyum seraya melangkah meninggalkan Yadi.

“Mbah!” teriak Yadi, tetapi Mbah Sukir tak menghiraukannya.

“Mbah!”

Makin mencurigakan gak to, Lur. Kok Mbah Sukir yang punya rencana? Kok Yadi malah diancam? Lah emboh!

Mari lanjut ke ceritanya, Lur.



 

****

 

Hari-hari terus berganti.

Ndoro Nyai duduk di teras, menyeka keringat di dahi dengan saputangan halus. Matanya tajam mengamati Karmini yang sedang membersihkan deretan pajangan ukiran di serambi rumah.

Tiba-tiba terdengar suara langkah Yadi di halaman.

“Ndoro,” ucap Yadi menjura sejenak memberi hormat lalu bergegas menuju mobil.

Ndoro Nyai mengerutkan dahi. “Kok aku ngrasakake ono sing aneh to karo Yadi.”

“Ngapunten, Ndoro Nyai. Aneh kepripun?” tanya Karmini yang tak sengaja mendengar ucapan Ndoro Nyai.

Ndoro Nyai menoleh. “Ora lo. Perasaanku kok bedo to ndelok Yadi. Koyok kepiye ngono,” jawab Ndoro Nyai.

Karmini hanya menunduk seraya mengusap-usap perutnya. Sungguh ia tak bisa berkata-kata masalah perasaan Ndoro Nyai yang menyebut Yadi berbeda, aneh.

“Wes kono dirampungke le resik-resik!” Ndoro Nyai lantas meninggalkan Karmini.

 



****

 

Matahari sore menyorot halaman gedong magrong-magrong milik Ndoro Soemitro, cahaya jingga menembus celah jendela jati.

Karmini duduk di pawon, tangan gemetar memegang sapu. “Kok aku ngeroso aneh to.”

“Atiku ngomong nek aku soyo tresno karo Ndoro Soemitro.”

“Duh! Kepiye, yo?” Karmini bangkit, ingatannya tertuju pada adegan ‘panas’ tempo hari di mana Ndoro Soemitro berhasil menyirami batinnya yang tandus selama ini.

Tiba-tiba rasa genyi merasuk.

“Huek!”

“Huek!”

Karmini kian merasa mual.

“Huek!”

“Huek!”

Ia bergegas lari menuju bilik mandi yang tak jauh dari pawon.

Mbah Sukir yang sejak tadi bersembunyi lantas membuntuti Karmini. Astaga! Masih ada Mbah Sukir, Lur. 😁

 

****


Keesokan harinya.

“Aku kudu cerito karo sopo, yo?” Gelisah Karmini dengan terus mondar-mandir di dalam kamarnya.

“Koyok-koyoke aku mbobot.”

Oalah, Mini, Mini. Iku goro-goro manuke Ndoro Soemitro pesti. Wes kono ngomong ae langsung!😁

Lagian sudah tahu janda, masih saja mau diajak begituan! Tanggung sendiri to sekarang akibatnya! Mana main di pawon lagi ... sangit ah!

Lanjut, Lur!

Karmini mendekat ke arah jendela. Ia melihat Yadi yang sedang mencuci mobil ndoronya.

“Opo aku cerito ae karo Mas Yadi, yo?” gulat batin Karmini.

Begitulah, Lur. Karmini akhirnya memutuskan untuk bercerita dengan Yadi. Terbersit sebenarnya untuk bercerita dengan para abdi perempuan, tetapi Karmini malu oleh statusnya. Kalau sampai ketahuan hamil dengan Ndoro Soemitro, bisa hancur masa depannya. Ndoro Nyai pasti tak tinggal diam to, Lur?

Singkat cerita Karmini menghampiri Yadi dan menceritakan kalau dirinya hamil.

“Mas, aku … aku ngroso … aku meteng karo ndoro,” bisik Karmini.

Yadi terkejut, matanya melebar. “Ha! Kar … Karmini … Kowe ngomong opo iki? Meteng karo ndoro?” Ada semburat rasa cemas di wajah Yadi.

Karmini mengangguk. “Hok oh, Mas.”

“Karmini ....” Malah wajah Yadi yang kini terlihat pucat. “Meteng karo ndoro? Karo Ndoro Soemitro maksudmu, ha?”

“Yo, iyo to, Mas. La mosok karo Ndoro Pakde Noto! Opo aku kudu ngaku ae yo, Mas?” tanya Karmini terlihat gugup.

“Weh! Ojo! Iso runyam urusane!” balas Yadi.

“Banjur kepiye, Mas?” cecar Karmini.

“Piye, yo. Aduh ... piye iki!” Yadi terlihat menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya karena gugup, wajahnya kian terlihat pucat.

“Ndoro kudu ngerti nek aku mbobot anake, Mas,” ucap Karmini, tetapi Yadi masih mondar-mandir di depan Karmini, cemas.

“Nek iku duk nake ndoro piye, he?” tanya Yadi.

“Kok iso ki lo. Seng neng wetengku iki anake ndoro, Mas,” sangkal Karmini.

“Yakin iku anake ndoro?” ulang Yadi.

Karmini mengangguk yakin. “Yo iyo lah, Mas.”

“Aduh! Piye iki to ... piye iki.” Yadi menyeka keringat di dahinya.

“Mas!”

“Opo aku kudu ngomong terus terang ae karo Karmini nek anak iku ....”

“Mas!” potong Karmini.

Kontan Yadi terkejut. “Eh, piye, yo.”

“Aku lo jek curhat. Malah mondar-mandir karepe dewe!”

“Opo aku ngaku ae nek iki anake ndoro?” imbuh Karmini.

“Kowe tresno karo Ndoro Soemitro?” balas Yadi bertanya.

Karmini mengangguk. “La iki buktine.” Karmini menunjuk perutnya. “Mak dung.”

“Nek ternyata iku duk anake ndoro piye, ha? Kepiye, Karmini!”

“Kok iso ki lo. La wong ndoro seng ngambung lambeku, ngutaki sandanganku, seng numpaki ....”

“Cukup! Wes cukup!” potong Yadi.

“Kok Mas seng nesu to?”

“Aku gak nesu! Opo mbok kiro Ndoro Soemitro iku tresno karo kowe, ha!” Ada nada kecewa di samar marah.

“E, Mas! Nek ndoro gak tresno, ya ora mungkin to ngejaki ngonoan neng pawon,” balas Karmini polos.

Woi! Kok malah ribut karepe dewe to do an! Karmini lo wes ngaku nek iku anakke Ndoro Soemitro, Di. Awakmu ki lo kok mbulet koyok entut neng njero sarung!

 

****

Karmini masih bingung. Apakah ia akan berterus terang dengan Ndoro Soemitro atau menyimpan rahasia ini.

Suasana pawon terlihat sepi seusai para abdi pulang.

Ndoro Nyai masuk menemui Karmini. “Wes dicepakake kebeh nggo Ndoro Kakung.”

“Eh, Ndoro Nyai.” Karmini menjura hormat. “Sampun, Ndoro,”

Ndoro Nyai menatapnya tajam. “Karmini, kowe ngerti to aturan neng omah iki? Aku ora seneng yen bocah anyar gampang kagum karo Ndoro Kakung.”

Deg!

Dada Karmini bagai digedor balok mendengarnya.

Karmini menunduk, jantungnya berdebar, ucapan tadi terdengar seolah-olah Ndoro Nyai sudah tahu kalau ia hamil.

“Inggih, Ndoro Nyai. Kulo ngertos.”

“Wes gek ditatakke madang nggo ndoromu!”

“Kulo, Nyai Ndoro,” balas Karmini kian tertunduk dalam.

Ndoro Nyai lantas meninggalkan Karmini.

Bukannya bergegas menata makan malam buat kedua ndoronya, hati Karmini terus bergulat antara jujur atau menutupi kehamilannya, Lur.

Oalah, Mini, Mini. Saran pakde mbok kamu itu jujur saja kalau sedang hamil anaknya Ndoro Soemitro yang ngacengan itu! Dia harus tanggung jawab! Perkara mau terjadi geger geden atau ontran-ontran masa bodo!

Eh, lagian kamu juga mau ding.

Atau jangan-jangan kamu punya rencana mau menggeser posisi Ndoro Nyai, ya? Hayo lo.  Itu kenapa kamu mau saja sewaktu Ndoro Soemitro ngajak begituan. Alasan kagum-kagum lagi. Dasar! Namun, ini hanya praduga pakde saja kok. Pakde yang nulis juga tidak tahu. Suer! 😁

Mbah Sukir entah punya rencana apa sama Yadi. Belum lagi Yadi malah gugup saat kamu curhat. Semua makin penuh teka-teki ya, Lur. Bersambung.

Tinggalkan jejak nggeh, Lur. Pakde segera kembali dengan episode 3.

PAKDE NOTO

Baca juga cerita seru lainnya di Wattpad dan Follow akun Pakde Noto @Kuswanoto3.

No comments:

Post a Comment

Start typing and press Enter to search